Dari Homer Hingga Rilke: Jalan-Jalan Filsafat, Sejarah, dan Seni
Aku ingat pertama kali membaca fragmen Homer di sebuah kelas sore yang hangat. Di luar jendela, hujan rintik menempel di kaca; di mejaku, secangkir kopi mulai mendingin. Ada sesuatu tentang bagaimana Iliad dan Odyssey membuka dunia—bukan hanya dunia pahlawan dan laut yang bergulung, tetapi juga dunia pertanyaan: kenapa manusia bertindak seperti itu? Kenapa takdir terasa berat, dan kebahagiaan sering terletak pada hal-hal kecil? Kalimat-kalimat Homer pendek, keras, seperti batu yang sudah dipahat zaman. Mereka memberi pondasi bagi banyak narasi sejarah dan filsafat berikutnya.
Yang menarik, Homer bukan hanya cerita. Ia adalah mesin budaya. Seniman menggambar adegan pertempuran; penyair lain menulis ulang dialog; filsuf mengambil contoh-contoh tindakan pahlawan untuk membahas etika. Bagi aku, membaca Homer seperti meraba peta tua. Ada lipatan-lipatan yang mengisyaratkan perjalanan panjang manusia.
Plato dan Aristoteles masuk ke hidupku lewat diskusi yang sering berubah jadi debat kecil di warung kopi kampus. Kita menyinggung bentuk, kebaikan, kebajikan. Kadang serius. Kadang bercanda. Plato membuatku bertanya ulang tentang realitas; Aristoteles mengajakku menghitung dengan teliti, mulai dari politik sampai tragedi. Filosofi yang terasa jauh ternyata hinggap juga di meja makan, di percakapan tentang film atau buku yang baru dibaca.
Aku punya kebiasaan: setelah diskusi teoretis, aku suka berjalan-jalan. Melihat patung di taman, membaca prasasti kecil, merasakan bagaimana ide-ide abstrak bekerja pada ruang nyata. Filsafat bukan cuma teori; ia menjadi kebiasaan hidup, cara menilai, cara bersikap. Dan kadang jawabannya simpel: lebih banyak mendengar, lebih sedikit menghakimi.
Sejarah selalu berbau debu buku — tapi juga manis seperti kue lapis saat dibicarakan dengan orang yang tepat. Dari Herodotus yang suka bertutur sampai sejarawan modern yang menumpahkan archive di meja, aku belajar bahwa sejarah bukan sekadar tanggal dan perang. Ia tentang suara-suara yang bertahan, tentang ingatan yang dipilih dan dilupakan. Di sebuah toko buku kecil yang sering kuintip, aku pernah menemukan edisi tua Herodotus penuh coretan tangan. Ada catatan kecil di sampul: “Dibaca pada malam-malam panjang perang.” Itu membuatku terdiam.
Koleksi-koleksi ini, kadang tersembunyi di rak pojok, bisa ditemukan juga online. Kalau kamu suka menjelajah literatur kemanusiaan, pernah- pernah aku mengklik link thehumanitiesbookstore dan tersesat selama berjam-jam di antara judul-judul yang memanggil untuk dibawa pulang.
Beranjak ke Rilke seperti memasuki kamar yang sunyi namun penuh gema. Puisinya menawarkan kekosongan yang penuh makna. Aku ingat menulis di margin buku Rilke: “Diam bukan ketiadaan, melainkan ruang.” Ada kalimat-kalimat yang membuat napas tertahan, kemudian mekar lagi. Rilke mengajarkan bagaimana bahasa bisa menjadi alat pengamatan terhadap jiwa. Ia juga menghubungkan seni visual dan puisi; banyak puisinya terasa seperti lukisan yang lambat.
Di galeri, aku sering menemukan karya yang terasa Rilkean: sapuan warna yang tampak sederhana namun memaksa kita menatap lebih lama. Kesenian modern dan puisi klasik ternyata bersaudara — mereka saling memberi nafas. Seni menuntut kita memperhatikan detail kecil: tekstur, noda, cara cahaya jatuh. Seperti membaca baris puisi yang menuntut jeda sebelum melanjutkan.
Akhirnya, perjalanan dari Homer hingga Rilke adalah perjalanan pulang dan pergi. Kita kembali ke akar-akar narasi, lalu keluar lagi membawa pertanyaan baru. Aku suka berjalan tanpa peta, hanya dengan satu buku di tas dan rasa penasaran yang besar. Kadang menemukan jawaban. Kadang hanya lebih banyak pertanyaan. Tapi selalu, selalu ada keindahan di tengah kebingungan itu.
Jadi, jika suatu sore kamu menemukan dirimu bosan, ambil sebuah buku tua. Buka halaman mana pun. Biarkan Homer memberimu medan perang atau Rilke menempatkanmu di depan cermin kecil. Percayalah—jalan-jalan ini tidak pernah sia-sia.
Dari Homer ke Pramoedya: Petualangan Filsafat, Seni, dan Budaya Membuka Buku, Membuka Dunia Aku masih…
Dulu, saya pikir filsafat hidup di aula kuliah — meja kayu, papan tulis penuh rumus,…
Ketika Homer Bertemu Hemingway: Menyusuri Filsafat, Seni, dan Budaya Lewat Buku Bayangkan sejenak meja panjang…
Sejarah sebagai Latar: Ketika Ide Bertemu Cerita Saat pertama kali membuka kembali buku Plato yang…
Membaca Dunia: kenapa buku lama masih bikin hati berdebar? Aku sering tertawa sendiri ketika menemukan…
Hiburan online sudah jadi bagian penting dari gaya hidup modern. Dari sekadar nonton film streaming,…