Saat pertama kali memutuskan menyusuri perjalanan filsafat lewat cerita-cerita kuno dan kontemporer, aku seolah melangkah ke lorong panjang yang bau kertas tua, kopi pagi, dan debu yang menari di bawah cahaya lampu. Di perpustakaan kecil dekat stasiun itu, Ketukan kaki orang-orang yang tenggelam di halaman membuat aku merasakan bahwa sejarah bukan sekadar rangkaian tanggal, melainkan sumbu yang menyala di ujung narasi. Filsafat sejarah, bagiku, mulai terasa seperti jaket tebal yang pas dipakai saat hujan turun: tidak mengikat, justru melindungi, dan membuat langkah terasa masuk akal. Di sana aku belajar bahwa waktu bekerja lewat cerita—bahwa identitas budaya tumbuh dari cara kita mengingat, menafsirkan, dan berdamai dengan kekonyolan masa lalu.
Memasuki berbagai suara dari masa lalu, aku menemukan bahwa sastra adalah laboratorium tempat ide-ide besar berangkat dari bisik-bisik keseharian: satir kecil tentang kebiasaan, keluh-kesah tentang kekuasaan, rintihan tentang kehilangan. Aku membaca para tokoh klasik dengan rasa ingin tahu yang campur aduk antara kagum dan geli—bagaimana Homer menyulam perang dengan kehendak manusia, bagaimana Shakespeare menimbang takdir lewat dialog yang lucu dan pedih, bagaimana Dostoevsky mendera kita dengan pertanyaan tentang moral di bawah tekanan. Lalu, di bagian modern, Woolf mengajar bahwa realitas bisa dibangun dari alur pikiran; Calvino mengubah kenyataan menjadi teka-teki metaforis; Márquez mengajak kita melihat sejarah melalui lapisan realisme magis. Tuntasnya, sejarah tidak hanya tentang tanggal, melainkan tentang bagaimana kita merayap melewati cerita untuk menemukan makna.”
Kedua arah itu saling melengkapi: klasik memberi kita kerangka etika, struktur dramatis, dan rasa hormat terhadap tradisi; modern memberi kita keberanian untuk memeriksa ulang, meruntuhkan bukti-bukti lama, serta menantang narasi tunggal tentang kemajuan. Dalam bacaan yang merentang rentang budaya, aku melihat bagaimana nilai-nilai seperti keadilan, memori komunitas, dan identitas personal dipakai sebagai alat analisis sejarah. Cerita-cerita tentang kerajaan yang runtuh, kota-kota yang berubah wajah, atau keluarga yang terurai karena rahasia lama, semua mengajari kita bahwa sejarah bukanlah monument, melainkan proses—gerak dinamis antara ingatan kolektif dan pertanyaan etis yang terus-menerus relevan di setiap zaman. Rasanya seperti melihat sebuah kota melalui kaca seribu, di mana setiap gambar menyingkap lapisan yang berbeda tetapi saling terkait.
Di momen tertentu, aku juga bertemu dengan kenyataan bahwa bahasa yang kita pakai untuk menafsirkan sejarah tidak netral. Pilihan kata, ritme kalimat, bahkan humor yang keluar dari karakter-karakter fiksi mampu mengubah bagaimana kita memahami kekuasaan, kelas, gender, dan identitas budaya. Ketika aku menutup halaman, aku sering tersenyum karena sebuah baris cerita bisa membuatku mengubah sudut pandang tentang sebuah peristiwa sejarah yang dulu terasa pasti. Itulah keajaiban literatur: ia mengundang kita menjadi peserta, bukan sekadar penonton, dalam percakapan panjang antara masa lalu dan masa depan.
Di tengah perjalanan membaca, saya sering menjumpai rekomendasi yang menambah warna: thehumanitiesbookstore menjadi salah satu tempat yang menaruh peta kecil untuk menavigasi pertemuan antara filsafat, sejarah, sastra, dan budaya. Rekomendasi itu tidak hanya tentang judul-judul besar, melainkan juga tentang cara buku-buku tersebut bisa dipelajari dari dekat—melalui catatan tangan, margin yang penuh tanda tanya, atau diskusi santai di kafe dekat kampus. Kecil rasanya, tetapi efeknya bisa besar: buku-buku itu mengajarkan bahwa perdebatan tentang masa lalu selalu mengukir masa kini dengan bentuk yang berbeda-beda.
Saya menyadari bahwa seni tidak berdiri sendiri dari sejarah atau budaya; ia menautkan semua elemen itu dalam sebuah jaringan yang hidup. Nilai seni tercermin dalam cara sebuah novel menggambarkan arsitektur kota, bagaimana lukisan menjadi cermin konflik sosial, bagaimana musik mengiringi adegan-adegan besar yang mengubah pola hidup komunitas. Ketika seorang tokoh menatap langit-langit istana, kita tidak hanya melihat derasnya kekuasaan, tetapi juga bagaimana budaya visual dan ritme bahasa memproduksi makna tentang identitas dan sejarah. Narasi-narasi besar tidak hanya menceritakan masa lalu; mereka mengajari kita bagaimana bagian-bagian budaya—seni, arsitektur, ritual, bahasa—berjalan bersama ketika sebuah masyarakat menapaki perubahan.
Di saat kita membaca, kita juga merasakan bagaimana budaya contemporary membangun dirinya lewat interpretasi ulang karya-karya lama. Adaptasi film, drama panggung, atau musik yang mengambil motif dari novel-novel klasik modern menjadi jendela untuk melihat bagaimana nilai-nilai teatrikal, keindahan, dan kepekaan sosial hidup berdampingan dengan teknologi, urbanisasi, dan globalisasi. Perpaduan ini membuat kita menyadari bahwa sejarah sastra tidak pernah statis; ia berubah bentuk sesuai dengan kebutuhan budaya yang sedang tumbuh. Dalam momen kecil, seperti kaca jendela yang berembun di pagi hari, kita melihat bagaimana masa lalu tersembunyi di balik permukaan modern, namun tetap mampu memayungi kita dengan cara yang lembut dan tajam sekaligus.
Seiring waktu, aku belajar bahwa filologi pribadi—cara kita membaca, menafsirkan, dan merespons teks—adalah bagian penting dari perjalanan filsafat sejarah. Aku tidak lagi melihat karya klasik sebagai monument yang kaku, maupun literatur modern sebagai isyarat yang merdeka dari warisan. Mereka berbicara satu sama lain dalam bahasa yang sama, yaitu keinginan manusia untuk memahami dirinya dalam kerumunan waktu. Kadang aku merasa lucu pada saat bacaanku mengungkapkan ketidaksempurnaan narasi: bagaimana kekhilafan tokoh bisa membuatku tertawa kecil, bagaimana kesombongan seseorang bisa memantik refleksi yang dalam. Tapi justru momen-momen itu yang membuat aku yakin bahwa perjalanan ini tidak pernah selesai. Setiap buku yang kutemukan adalah pintu ke ruangan lain, tempat saya bisa menyingkap bagian-bagian diri yang mungkin terlupa oleh langkah cepat zaman modern.
Jika ada yang bertanya mengapa kita perlu membaca buku kuno dan modern secara bersamaan, jawaban sederhan yang muncul adalah: karena kita hidup di jembatan antara masa lalu dan masa kini. Sastra mengajarkan cara kita mendengarkan sejarah tanpa kehilangan kemanusiaan; filsafat memberikan alat untuk mempertanyakan narasi besar; budaya menunjukkan bagaimana kita merayakan keberagaman sambil menjaga harmoni. Dan di tengah perjalanan ini, aku meyakini bahwa kita semua punya versi kecil dari cerita besar itu—versi yang bisa kita tulis dengan langkah kita sendiri, satu paragraf, satu momen penuh emosi, di dunia yang terus berubah namun tetap berdenyut oleh suara-suara lama yang tidak pernah benar-benar hilang. Terima kasih untuk setiap buku yang membuatku bertanya lebih banyak daripada menjawab; itulah cara kita hidup sebagai manusia pembaca.”
Menelusuri Filsafat Melalui Literatur Klasik dan Modern, Sejarah Seni Budaya Ketika saya membuka halaman-halaman kuno…
Sejarah Itu Nggak Diam: Mengintip Narasi dari Klasik Beberapa bulan terakhir, aku sering merasa filsafat…
Sobat kopi, kita duduk santai sebentar, ya? Hari ini aku pengin ngobrol soal bagaimana filsafat…
Filsafat, sejarah, sastra, seni, budaya tidak pernah berjalan sendiri-sendiri; mereka menempuh jalan yang saling bertemu…
Filsafat, Sejarah, Sastra, Seni, Budaya dalam Literatur Klasik dan Modern Entah mengapa aku balik lagi…
Saya tumbuh dengan kebiasaan membaca di sudut kafe kecil yang selalu punya kursi kayu tua…