Dari Homer ke Pramoedya: Petualangan Filsafat, Seni, dan Budaya
Membuka Buku, Membuka Dunia
Aku masih ingat malam-malam kecil di mana lampu belajar berkedip lembut, kopi mendingin di samping, dan aku menenggelamkan diri dalam bait-bait Homer atau halaman-halaman yang disobek-sobek oleh waktu. Ada rasa hangat dan aneh: seolah seseorang dari zaman lain menepuk bahuku dan bilang, “Dengar, begini caranya dunia dipahami.” Itu pertama kali aku merasakan bahwa sastra bukan hanya cerita; ia adalah alat ukur hidup, kompas moral, dan kadang obat mujarab saat hati kebingungan.
Mengapa Homer dan Pramoedya Bisa Bertemu?
Kalau ditanya, rasanya absurd membandingkan epik Yunani kuno dengan novel-novel perjuangan Indonesia. Tapi coba pikir lagi: keduanya berbicara tentang manusia yang sama — rasa takut, keberanian, cinta yang retak, dan pertanyaan soal keadilan. Homer mengajarkan ritme narasi dan kehendak para dewa; Pramoedya mengajarkan tanggung jawab historis dan keberpihakan pada yang tertindas. Di meja kopiku, dua buku itu bisa berdiri berjaring seperti sahabat yang saling mengejek satu sama lain—Homer sok elegan, Pram sinis namun cerdas. Kadang aku tertawa sendiri membayangkan percakapan mereka.
Filsafat: dari Teori ke Meja Makan
Filsafat seringkali terdengar berat: teori, istilah, debat akademis. Tapi bagiku ia hidup ketika aku membaca teks-teks klasik dan merasa ada seseorang yang mengajakku berdiskusi sambil makan sisa roti. Plato bertanya apa itu kebaikan; Sokrates menyorot kelalaian kita; sedangkan tulisan-tulisan modern, termasuk yang muncul dari pengalaman kolonial dan pasca-kolonial, bilang bahwa kebaikan juga perlu diukur dari konteks sosial, sejarah, dan rasa sakit. Ini bukan sekadar soal konsep abstrak—ini soal bagaimana kita memperlakukan tetangga, bagaimana kebijakan mempengaruhi petani, dan kenapa seni yang tampak kecil bisa mengubah suasana hati sebuah komunitas.
Bagaimana Seni dan Budaya Menyambung Waktu?
Seni punya cara nakal untuk menyambung masa lalu dan masa kini. Lukisan kuno bisa membuatku menahan napas, puisi modern bisa membuatku tertawa konyol karena jenaka yang tak terduga. Benda-benda budaya bercerita: motif batik, gamelan yang terselip rindu, sampai film-film indie yang memotret kota-kota yang kita kenal. Di sebuah toko buku kecil yang lembap, aku pernah menemukan terbitan lama yang membawa catatan tangan seseorang di margin — seperti surat kecil dari masa lalu. Itu membawa perasaan hangat dan melankolis sekaligus, membuatku berpikir betapa rapuh tapi juga kuatnya warisan budaya.
Menyelami karya-karya klasik sekaligus modern membuatku sadar bahwa sejarah tidak linear. Ia berputar, berulir, kadang mundur sedikit, lalu melompat. Dalam itu, sastra adalah mesin waktu yang bisa mempertemukan Homer yang berperang demi kehormatan dengan Pramoedya yang berjuang demi martabat rakyat. Kalau kamu suka mengobrak-abrik rak buku, coba jelajahi ruang itu sendiri—kadang kamu menemukan buku yang mengubah cara pandangmu tentang negara, atau tentang dirimu sendiri. Untuk koleksi yang membuat hati berbunga-bunga, pernah kutemui sumber-sumber menarik di thehumanitiesbookstore yang membuat kuping historiaku berdiri sedikit kegirangan.
Kenapa Kita Butuh Klasik dan Modern Bersamaan?
Banyak orang bertanya: “Haruskah kita tetap membaca yang klasik atau fokus ke karya-karya baru?” Jawabanku simpang: keduanya. Klasik memberi kita kerangka, bahasa yang diuji zaman, sedangkan karya-karya modern—termasuk dari penulis-penulis marginal—menambal lubang-lubang yang dulu tertutup. Ada kebahagiaan aneh saat menemukan pola lama di teks baru: ternyata masalah manusia sering berulang, hanya busananya berubah. Membaca keduanya terasa seperti berbicara dengan orang-orang yang berada di meja sastrawi sepanjang sejarah: ada yang serius, ada yang jahil, dan ada pula yang membuatmu ingin mengangkat secangkir teh untuk bersulang.
Penutup: Sebuah Undangan
Akhirnya, petualangan ini bukan soal siapa duluan atau siapa paling hebat. Ini soal bagaimana kita mengizinkan teks-teks itu masuk ke dalam kehidupan sehari-hari. Aku mengajakmu, dari pembaca yang kebetulan lewat hingga yang memang sengaja mampir, untuk membuka buku, menyalakan lampu kecil, dan memberi ruang bagi percakapan lintas zaman. Baca Homer jika mau merasakan kebesaran cerita; baca Pramoedya jika ingin merasakan darah sejarah mengalir; baca yang lain untuk membuat dirimu tak pernah bosan. Di meja kecilku, masih ada secangkir kopi yang menunggu diseret waktunya—maukah kau ikut menyruput sambil berbincang tentang dunia?