Dari Plato: Sastra sebagai Cermin Jiwa
Saya selalu membayangkan Plato duduk di bawah pohon zaitun, bukan hanya berfilosofi, tapi juga membaca puisi sampai terkikik geli—ya, mungkin itu imajinasi hiperbolis saya. Tapi inti gagasan Plato tentang seni dan kebenaran sering bergema: sastra dan dialog bukan sekadar hiburan, melainkan cermin yang memantulkan kondisi jiwa masyarakat. Ketika membaca teks klasik, saya merasa seperti membuka jendela waktu; udara yang masuk bau batu kapur dan debu buku kuno. Ada ketegangan batin yang aneh—antara kekaguman pada kecermatan argumen dan rasa rindu pada kisah-kisah yang menyentuh secara manusiawi.
Apakah Seni Bisa Mengubah Sejarah?
Mungkin terdengar klise, tapi setiap kali saya menutup buku sejarah, selalu ada satu pertanyaan yang menggeliat: apakah seni benar-benar punya kekuatan mengubah jalannya sejarah? Bacaan tentang tragedi Yunani yang mengguncang, kisah epik zaman Renaisans yang menyalakan pemikiran baru, hingga novel-novel laporan yang membuka mata publik—semua memberi bukti. Seni bukan sekadar refleksi; ia adalah agen. Ia bisa menggerakkan empati, menyulut kemarahan, atau menenangkan yang gelisah. Dalam pengalaman saya, sebuah puisi yang pas bisa membuat saya langsung berdiri, menumpahkan seteguk kopi karena tersentak—lucu tapi nyata: sastra sering membuat tubuh bereaksi sebelum nalar setuju.
Pramoedya dan Suara yang Tersimpan
Mendarat di era modern, Pramoedya Ananta Toer untuk saya adalah semacam jembatan. Dia menggabungkan sejarah lokal, identitas nasional, dan pelajaran universal tentang kemanusiaan dalam cara yang begitu dekat, sampai saya sering merasa dia sedang berbicara dari sebelah tempat tidur saya pada tengah malam. Menceritakan Bumi Manusia bukan hanya soal cerita cinta atau politik kolonial; itu soal cara sebuah bangsa belajar melihat dirinya sendiri. Pramoedya menulis untuk mereka yang tak punya suara, dan pembacanya menjadi saksi. Saat baca bagian tertentu, saya ingat menunduk, menahan napas, seperti menunggu ledakan kecil emosi yang tak boleh diumbar di ruang tamu keluarga—ironis, namun mengharukan.
Di sela-sela bacaan, saya sering bertualang ke toko buku kecil yang remang-remang, meraba sampul-sampul tua, dan kadang menemukan terjemahan kuno yang aromanya khas: campuran kertas tua, kopi, dan sedikit musiman. Untuk membaca lintasan budaya dan filsafat, saya juga sering mengandalkan koleksi daring—sebuah catatan kecil: thehumanitiesbookstore pernah jadi tempat saya menemukan edisi langka yang membuat saya menangis bahagia. Betapa lucunya, bisa merasa seperti Indiana Jones tapi dengan wristwatch jam karet dan mata panda karena begadang.
Membaca sebagai Perjalanan Balik
Jalan dari Plato menuju Pramoedya bukanlah garis lurus; lebih seperti jalan setapak yang berliku di pegunungan, penuh kabut dan pemandangan tak terduga. Melalui sastra, kita mengintip berbagai zaman: etika oleh Plato, iman dan kekuasaan pada teks-teks abad pertengahan, kritik sosial zaman modern, hingga karya-karya pascakolonial yang menata ulang narasi sejarah resmi. Setiap teks memaksa kita mempertanyakan asumsi, merapikan kembali baju batin, dan kadang membuat kita menertawakan kebodohan diri sendiri. Saya kerap terkejut melihat betapa banyak hal yang dulu saya anggap normatif, sekarang terasa kurang adil atau malah absurd.
Dan di sinilah letak kenikmatan membaca: bukan sekadar menambah pengetahuan, melainkan mengasah empati. Buku-buku klasik dan modern menjadi alat untuk membaca jiwa—bukan hanya jiwa individu, tetapi jiwa kolektif suatu zaman. Ketika budaya dan sejarah bertemu dalam kata-kata, kita mendapatkan cermin yang tak hanya memantulkan wajah, tapi juga kerutan, luka lama, dan harapan yang masih muda. Membaca jadi semacam ritual: menyalakan lampu kuning, menyeduh teh, dan membiarkan cerita meresap sampai pagi.
Akhirnya, dari Plato ke Pramoedya, saya belajar satu hal sederhana: seni dan sastra adalah jalan pulang. Jalan yang mengajarkan kita bahasa untuk menyapa luka, humor untuk meredakan ego, dan keberanian untuk mengakui bahwa kita tak pernah benar-benar tahu—kecuali melalui kisah-kisah yang mau memberi ruang kepada kita untuk berubah.