Saya tumbuh dengan kebiasaan membaca di sudut kafe kecil yang selalu punya kursi kayu tua dan bau kopi yang harum samar. Setiap halaman membawa saya berdansa dengan ide-ide besar, tapi juga menyingkap hal-hal kecil—cerita-cerita pribadi tentang bagaimana manusia menjaga martabatnya di tengah zaman yang berlalu. Dalam perjalanan membaca, saya belajar bahwa filsafat sejarah tidak selalu harus berdiri di podium universitas; kadang ia bersembunyi di balik kalimat yang tenang, di balik karakter yang bertahan meski dunia berubah. Literatur, bagi saya, adalah laboratorium tempat kita menyimak bagaimana kita membentuk budaya lewat bahasa, bagaimana kita menimbang masa lalu agar bisa berjalan ke depan tanpa kehilangan arah. Itulah inti dari perjalanan saya: mendengar suara klasik dan wajah modern bersatu dalam satu getar kebudayaan yang sama.
Saat membaca karya-karya klasik, saya sering teringat pada gagasan bahwa sejarah bukan sekadar rangkaian tanggal, melainkan sumbu etika yang memberi arti pada peristiwa. Filsafat sejarah mengajarkan kita untuk menanyakan bagaimana sebuah peradaban memilih untuk mengingat, atau kadang menahan ingatan agar tidak menumpuk beban yang tidak perlu. Ketika saya menapaki karya-karya Homer, Tolstoy, atau Shakespeare, saya tidak hanya mengejar alur cerita; saya mengejar pola-pola besar tentang kekuasaan, pengkhianatan, keberanian, dan rasa bersalah yang melintasi masa. Ada kalimat-kalimat yang tidak lekang oleh waktu: bagaimana sejarawan menafsirkan tragedi, bagaimana penulis menggunakan mitos untuk menantang norma sosial, bagaimana tokoh-tokoh fiksi menguji batas antara kebutuhan pribadi dan tanggung jawab bersama. Dalam proses itu, saya menemukan bahwa budaya adalah hasil dari dialog panjang antara ide-ide yang lahir di masa lalu dan keresahan zaman kini.
Di momen-momen sunyi saat saya membolak-balik halaman, kadang saya merasakan bahwa sastra klasik modern adalah jembatan: ia membawa kita dari dunia yang terasa berat dengan tradisi menuju ruang yang lebih lentur dengan interpretasi baru. Seperti ketika saya membaca sebuah drama besar tentang kekuasaan yang disorot lewat kaca mata gender, atau sebuah epik sejarah yang menggali identitas bangsa lewat luka-luka kolonial. Di sana, seni menjadi alat kritis: ia menantang kita untuk melihat ke belakang tanpa melukai diri sendiri, lalu membiarkan cahaya masa kini masuk melalui celah-celah vaksin bahasa yang rumit itu. Itulah mengapa saya menyebut literatur sebagai sejarah yang sedang berjalan—selalu bergerak, selalu menafsirkan ulang, selalu mengundang kita untuk berdiskusi dengan orang-orang yang hidup di zaman lain melalui halaman buku.
Klasik tidak pernah benar-benar kuno. Ia seperti kota tua yang setiap pintunya menyimpan cerita baru untuk dibaca pada hari-hari yang berbeda. Ketika saya menimbang karya-karya seperti mitologi Yunani, roman Shakespeare, atau karya-karya Latin kuno, saya melihat bagaimana nilai, ritual, dan estetika sebuah masyarakat tercatat dalam bahasa yang mereka pakai. Bahasa itu tidak hanya tempat untuk mengembangkan plot, tetapi juga arena di mana budaya diuji: bagaimana ritual, ritual kota, tata bahasa, dan cara bercakap-cakap membentuk pandangan dunia. Dalam nuansa itu saya belajar bahwa seni visual, teater, musik, dan sastra saling berkomunikasi. Mereka membangun citra budaya secara berantai—melukis wajah sebuah era lewat gambar, kata, dan musik yang saling melengkapi. Ada kepuasan kecil ketika menemukan bahwa sebuah baris kalimat bisa mengangkat sebuah kilau dari sejarah panjang manusia, membuat kita merasa bukan sebagai pelaku sejarah, melainkan saksi. Jika ada bacaan yang terasa berat, saya biasanya menyelipkan sedikit humor pribadi: bagaimana seorang tokoh bisa begitu serius tentang nasib bangsanya sambil akhirnya membuat pembaca tersenyum karena kejujuran kecil yang tak terduga.
Ketika berbicara tentang hubungan antara klasik dan modern, kita tidak sedang menutup mata pada kenyataan bahwa budaya terus tumbuh dengan cara-cara yang tak terduga. Karya modern sering menanggalkan rahasia besar masa lalu, merombak dusta-dusta lama, dan memperlihatkan bagaimana identitas, kelas, gender, dan migrasi membentuk cara kita melihat dunia. Dalam bacaan seperti itu, saya merasakan semacam dialog: suara kuno tetap relevan karena ia mengajarkan kita memahami sebab-akibat panjang dari tindakan manusia, sementara suara modern menjawab dengan pertanyaan-pertanyaan baru tentang bagaimana kita hidup di dunia yang semakin saling terkait. Bagi saya, membaca klasik modern adalah cara untuk melihat diri sendiri di cermin budaya yang luas ini—ia membuat terasa bahwa kita tidak pernah berhenti belajar dari masa lalu, meski gaya hidup kita sangat berbeda.
Saya juga suka berpindah ke literatur yang lebih kontemporer: karya-karya yang mengurai memori kolektif, identitas migran, dan kota-kota besar yang penuh teka-teki. Penulisan seperti itu menantang kita untuk menimbang sejarah lewat pengalaman pribadi—bukan hanya melalui data, tetapi melalui kisah-kisah kecil yang kita temui di dekat pintu rumah, di halte bus, atau di keramaian pasar. Melalui bacaan ini, seni tidak lagi terasa sebagai benda museum, melainkan sebagai percakapan hidup yang sedang berjalan. Jika kita ingin menambah kedalaman, saya sarankan menjelajah literatur yang merangkul budaya lain tanpa kehilangan keunikan kita sendiri. Dan kalau sedang ingin panduan bacaan yang lebih luas, aku kadang membuka rekomendasi di thehumanitiesbookstore: sebuah pintu kecil untuk menemukan hubungan antara filsafat sejarah, sastra klasik, dan wacana budaya modern. thehumanitiesbookstore memberikan sudut pandang yang membantu mengikat benang-benang antara masa lampau dan realitas saat ini.
Pada akhirnya, membaca adalah perjalanan menilai dunia melalui adanya peristiwa yang mengubah cara kita hidup. Literatur klasik memberi kita fondasi tentang bagaimana manusia berpikir, bertindak, dan berciuman pada batas-batas moralnya. Literatur modern memberi kita bahasa baru untuk menanyakan pertanyaan lama: Apa arti menjadi manusia di era teknologi? Bagaimana kita menjaga empati ketika sejarah terasa terlalu besar dan terasa di luar kendali? Dan bagaimana budaya—seni, bahasa, ritual, tempat tinggal—membentuk kita sebagai pribadi yang bisa berdiri teguh di antara gelombang zaman? Saya menikmati setiap halaman karena mereka mengajar saya untuk tidak hanya memahami dunia, tetapi untuk merayakan kerutan dalam pengalaman manusia yang membuat kita tetap hidup, tetap ingin tahu, tetap terhubung satu sama lain melalui cerita. Inilah alasan saya terus membaca: karena lewat cerita, kita belajar menjadi warga sejarah yang lebih bijak, lebih sabar, dan tentu saja lebih hangat terhadap sesama manusia.
Menelusuri Filsafat Melalui Literatur Klasik dan Modern, Sejarah Seni Budaya Ketika saya membuka halaman-halaman kuno…
Sejarah Itu Nggak Diam: Mengintip Narasi dari Klasik Beberapa bulan terakhir, aku sering merasa filsafat…
Sobat kopi, kita duduk santai sebentar, ya? Hari ini aku pengin ngobrol soal bagaimana filsafat…
Filsafat, sejarah, sastra, seni, budaya tidak pernah berjalan sendiri-sendiri; mereka menempuh jalan yang saling bertemu…
Filsafat, Sejarah, Sastra, Seni, Budaya dalam Literatur Klasik dan Modern Entah mengapa aku balik lagi…
Di rak buku yang berderet rapi, aku sering merasa kita sedang menumpuk bukan hanya cerita,…