Kisah Filsafat dan Sejarah Lewat Sastra Klasik dan Modern Seni Budaya
Pagi ini aku duduk di meja kayu yang sudah pudar, jendela berkabut, dan kopi yang menimbulkan aroma karamel di udara. Rak buku di depan mata berderit pelan setiap kali aku menarik satu judul, seakan-akan mereka menunggu untuk diceritakan ulang. Aku bertanya pada diriku sendiri: apa yang sebenarnya kita cari ketika membuka sebuah novel atau puisi? Bagi aku, jawaban sederhana: kita mencari jejak filsafat yang melintasi halaman, dan serpih-serpih sejarah yang membentuk cara kita melihat dunia. Membaca sastra klasik lalu beralih ke karya modern terasa seperti mengikuti gema masa lalu yang tidak pernah benar-benar hilang, hanya berganti nada, seperti lagu lama yang didengar di radio tua.
Filsafat bukan hanya milik para profesor atau lontaran teori di kampus. Ia bisa muncul dalam dialog Shakespeare yang menelanjangi keadilan, atau dalam epik Gilgamesh yang menantang kita dengan kesadaran akan kematian. Ketika aku membaca bab-bab kuno, aku merasakan napas para tokoh mengalir melalui halaman, seolah mereka mengajari kita bagaimana hidup dengan keterbatasan. Nah, di situlah sejarah mulai berbicara lewat cerita: bagaimana sebuah komunitas memilih nilai, bagaimana sebuah budaya menimbang tradisi melawan perubahan, bagaimana manusia bertahan meskipun nasib sepertinya menolak keberanian mereka.
Apa makna filsafat di halaman kuno?
Di paragraf-paragraf pertama karya klasik, pertanyaan besar sering muncul lewat kata-kata yang terlihat sederhana. Filosofinya tidak selalu kita gambarkan sebagai daftar definisi; ia bersemayam dalam pilihan yang kita buat ketika menghadapi rasa sakit, keadilan, atau kebenaran. Misalnya, ketika kita mengikuti tokoh-tokoh dalam tragedi Yunani atau epik India, kita melihat bagaimana mereka menimbang tugasan terhadap keluarga, komunitas, dan dirinya sendiri. Filsafat di sini bukan kuliah panjang, melainkan meditasi yang mendorong kita untuk bertanya: bagaimana kita menjadi manusia yang layak di masa yang penuh ketidakpastian?
Saat aku menelusuri halaman-halaman itu, suasana perpustakaan tua seringkali datang seperti teman lama. Lampu temaram, aroma kertas yang hangat, suara lembaran yang berdesir—semua itu membuat aku merasa kita sedang berjalan menyusuri koridor waktu bersama tokoh-tokoh yang kadang lebih manusiawi daripada kita kira. Aku membaca dengan perlahan, menandai bagian yang terasa menyinggung hati, lalu menutup buku sambil berpikir bahwa makna tidak selalu hadir dalam jawaban, tetapi dalam perjalanan bertanya itu sendiri.
Seiring waktu, filsafat di halaman kuno bertemu dengan persoalan masa kini. Apakah keadilan bisa dirumuskan tanpa menyakiti sebagian orang? Apa arti kebebasan ketika sejarah tetap mengintai dari balik setiap tindakan kita? Aku kadang menuliskan catatan kecil di pembatas buku: sebuah analogi sederhana tentang bagaimana kita menilai tindakan sendiri ketika peristiwa besar mengguncang tatanan. Dan di sore yang hangat, aku tertawa ringan melihat bagaimana karakter-karakter kuno tampak seperti tetangga lama yang kita temui di koridor apartemen: mereka juga gaduh, juga manusia, juga takut dan berani pada saat yang sama.
Di perjalanan membaca ini, aku sering membangun perpustakaan kecil di kamar kos; bahkan aku sempat mencari karya-karya langka melalui thehumanitiesbookstore untuk menemukan terjemahan baru yang membuat halaman terasa hidup.
Sejarah lewat tokoh dan narasi
Sejarah bukan sekadar deretan tanggal di buku pelajaran. Ia hidup lewat pilihan karakter, lewat bagaimana mereka menanggapi krisis, revolusi, dan perubahan budaya. Ketika kita menengok tokoh-tokoh dalam novel abad ke-19, kita tidak hanya melihat bagaimana peristiwa membentuk mereka, tetapi juga bagaimana mereka membentuk makna masa itu untuk kita. Tokoh-tokoh itu menantang kita untuk menilai kekuasaan, moral, dan identitas dengan cara yang tidak selalu nyaman, tetapi sangat diperlukan. Aku pernah menangis membaca bab Tolstoy yang menggambarkan dampak perang pada rumah tangga sederhana, atau mengikuti alur pemikiran Dostoyevski yang menuntun kita ke dalam labirin etika yang tidak punya pintu keluar yang jelas.
Penulisan sejarah lewat literatur juga memberi kita sudut pandang yang sering diabaikan: suara kaum miskin, pendatang, perempuan, mereka yang tak sering menjadi pusat narasi resmi. Aku teringat bagaimana membaca Pramoedya Ananta Toer bisa membuat aku melihat sejarah negara tetangga lewat kacamata yang lebih dekat, lebih manusiawi, dan tentu saja lebih getir. Setiap halaman mengajarkan kita bahwa sejarah adalah kolektif, bukan milik satu pihak saja, dan kita semua punya peran dalam menuliskannya kembali hari ini.
Rasanya detail kecil seperti bau buku tua, bunyi halaman saat dibalik, atau dentingan jam di jam dinding menambah bugdet pengalaman kita. Itulah sebabnya aku tidak hanya membaca, tetapi juga merasakan: bagaimana budaya kita menimbang tradisi dengan perubahan, bagaimana kita merespons saat nilai lama bertabrakan dengan kenyataan baru. Sejarah, pada akhirnya, adalah percakapan panjang antara masa lalu dan masa kini, dan kita adalah bagian dari percakapan itu juga.
Sastra klasik vs modern: lintasan budaya
Pada akhirnya, kita tidak perlu memilih satu sisi. Sastra klasik dengan bentuknya yang terjaga rapi dan bahasa yang berirama memberi kita landasan etika, struktur narasi, dan kehormatan terhadap tradisi. Sementara sastra modern, dengan eksperimen gaya dan kejujuran emosionalnya, mengajak kita untuk melihat dunia melalui kaca yang lebih luas, lebih beraneka, dan kadang-kadang lebih getir. Aku suka bagaimana keduanya saling melengkapi: yang satu mengajarkan kita bagaimana membaca makna secara hati-hati, yang lain mengajarkan bagaimana menyuarakan kebenaran kita sendiri tanpa takut terjun ke absurditas dunia modern.
Kalau ada satu hal yang selalu aku bawa pulang setelah membaca, itu adalah kesadaran bahwa budaya bukan static; ia hidup melalui dialog antara masa lalu dan masa kini. Dengan begitu, kita tidak hanya menjadi pengamat, melainkan bagian dari evolusi makna budaya itu sendiri. Dan ketika kita menutup buku, kita membawa pulang bukan hanya cerita, tetapi juga cara berpikir yang membuat kita mampu menilai diri, keluarga, kota, dan negara dengan mata yang berbeda.
Aku menepuk-nepuk tumpukan buku di meja, tersenyum pada diri sendiri, dan menyadari bahwa perjalanan ini tidak punya akhir. Setiap halaman adalah langkah kecil menuju pemahaman yang lebih luas—tentang filsafat, sejarah, sastra, dan budaya yang selalu bergabeh pada kita untuk ditafsirkan sekarang.