Sastra bagi saya adalah alat melintas batas waktu. Ia tidak berhenti pada cerita yang menghibur; ia menumpahkan perdebatan abad-abad panjang tentang apa itu keadilan, bagaimana kita mengingat masa lalu, dan bagaimana sebuah budaya meresap ke dalam bahasa sehari-hari. Ketika saya membaca karya klasik—misalnya dialog-dialog Plato yang menantang kita bertanya tentang kebaikan, atau epik-epik Homer yang menelusuri nasib para pahlawan—atau karya modern yang merajin realitas kompleks seperti kota-kota besar dan identitas yang tidak lagi tunggal, saya merasakan arus sejarah mengalir di dalam halaman. Filsafat memberi kerangka; sastra memberi gambaran; sejarah memberi konteks; seni dan budaya menuliskan cara kita merawat makna di tengah fragmentasi zaman.
Apa yang Dapat Diajarkan Sastra tentang Filsafat dan Sejarah?
Ketika kita membaca sastra klasik maupun modern, filsafat tidak lagi bermakna abstrak di kepala para profesor, melainkan terdengar di telinga ketika seseorang berdebat soal keadilan, kebebasan, atau batas-batas kekuasaan. Demikian pula sejarah tidak hanya berisi tanggal dan peristiwa; ia hidup lewat narasi yang kita bangun tentang siapa kita, bagaimana kita mengingat orang-orang yang telah lewat, dan bagaimana sebuah bangsa merayakan atau menyesali pintu-pintu yang pernah terbuka. Dalam roman-Roman dari Asia, Eropa, hingga Amerika Latin, tema-tema besar—kebiasaan, kebingungan massa, etika penilaian, serta konflik antara tradisi dan modernitas—berkicau dengan cara yang tidak selalu jelas, tetapi selalu nyata. Melalui bacaan, saya belajar menilai bagaimana sebuah peristiwa menjadi bersejarah bukan karena ia terjadi, tetapi karena cerita tentangnya bertahan, bertambah rumit, dan dihadirkan kembali pada generasi berikutnya. Karya-karya ini mengajari saya untuk membaca konteks, menguji asumsi, dan merasakan bagaimana gagasan bekerja di dunia nyata.
Pengalaman Pribadi: Menelusuri Koneksi antara Klasik dan Modern
Suatu sore saya berjalan di antara rak-rak buku lama dan baru, menimbang bagaimana satu karya bisa menjadi jembatan antara filsafat kuno dan realitas kota modern. Di pojok toko, saya menemukan terjemahan dialog-dialog perdebatan tentang kebahagiaan, moral, dan pilihan yang tampak sederhana namun menuntut pemikiran panjang. Di sisi lain, narasi-narasi kontemporer bukan sekadar catatan kejadian; mereka menuliskan bagaimana manusia berlatih berdebat dengan dirinya sendiri tentang identitas, kekuasaan, dan harapan. Karena itulah saya selalu menuliskan daftar bacaan yang mengikatkan filsafat, sejarah, dan sastra—dan untuk itu saya sering menemukan rekomendasi di thehumanitiesbookstore, tempat buku-buku lintas disiplin bertemu tanpa memaksa saya memilih satu garis besar saja. Ada kepuasan ketika sebuah judul lama bertemu dengan pandangan baru, dan keduanya membentuk gambaran mengenai bagaimana kita hidup. Bacaan seperti itu membuat saya percaya bahwa buku bisa menjadi studio tempat kita membentuk pertanyaan-pertanyaan besar menjadi langkah konkret dalam hidup sehari-hari.
Bagaimana Cerita Menghubungkan Seni, Budaya, dan Nilai-nilai Kita?
Sastra modern tidak berhenti di halaman-halaman; ia merembet ke dalam seni lain: film, musik, lukisan, arsitektur. Ketika saya menonton sebuah film yang diadaptasi dari novel klasik, saya melihat bagaimana sutradara memilih bagian mana yang bisa mengajar kita tentang keadilan atau kekuasaan, sambil membiarkan absurditas kehidupan modern bercampur dengan melodi latar yang menguatkan suasana. Dalam karya-karya yang lebih intim, saya merasakan hal yang sama dengan pelukis yang menempatkan keadaan batin tokoh pada sapuan warna, atau arsitek yang membisikkan ritme kota melalui garis-garis bangunan. Budaya adalah pertemuan antara cerita yang kita katakan, nada yang kita dengarkan, dan tempat di mana kita menatap masa depan. Sastra menjadi motor penggerak untuk melihat bagaimana nilai-nilai lama bisa hidup kembali dengan bahasa yang relevan untuk hari ini. Ketika kita membaca satu novel fiksi sejarah, kita sebenarnya sedang menengok cara sebuah masyarakat menimbang kemanusiaan dalam bingkai kekuasaan, lalu membandingkannya dengan bagaimana kita sendiri menimbang hal yang sama di era media sosial dan globalisasi.
Penutup: Melangkah dengan Buku sebagai Petunjuk
Akhirnya, perjalanan melalui sastra klasik dan modern adalah perjalanan melalui diri sendiri. Kita belajar bahwa filsafat tidak hanya mengajarkan argumen; ia mengajari bagaimana kita berhenti sejenak, mendengarkan orang lain, dan mempertanyakan cara kita hidup. Sejarah memberi kita konteks agar kita tidak menelan narasi secara mentah, tetapi mengolahnya agar memiliki makna bagi masa kini. Sastra, di sisi lain, memberi kita alat empati: kita melihat dunia lewat mata tokoh-tokoh yang berbeda budaya, latar belakang, serta ajaran hidupnya. Seni dan budaya menjadi catatan kaki yang memperkaya argumen, bukan sekadar pelengkap. Saya tidak tahu kemana halaman-halaman itu akan membawa saya selanjutnya. Yang saya tahu adalah: bacaan membuat saya lebih peka terhadap kemungkinan, lebih kreatif dalam menimbang pilihan, dan lebih berani untuk bertanya. Jika Anda juga ingin menapak jalan sulit ini, mulailah dengan satu buku yang mengikatkan filsafat, sejarah, sastra, dan seni—kemudian biarkan diri Anda terhuyung-huyung sedikit oleh keindahan pertanyaan, seperti yang biasa dilakukan para pembaca lama dan pembaca baru di sepanjang zaman.