Menjelajah Nalar dari Plato Sampai Pramoedya dan Lukisan Kontemporer

Aku selalu suka membayangkan sebuah garis panjang yang menghubungkan Plato dengan Pramoedya, lalu meliuk ke kanvas lukisan kontemporer yang dipajang di ruang pameran kota. Nalar bukan sesuatu yang statis; ia bergetar, bergeser, kadang bertengkar dengan estetika dan emosi. Dalam perjalanan membaca dan melihat, aku menemukan bahwa filosofi, sejarah, sastra, seni, dan budaya saling bercakap-cakap—bahkan ketika mereka tampak berjarak ribuan tahun.

Plato: dimulai dari gua, bukan dari kertas kuliah

Kalau ingat masa dulu kuliah filsafat, diskusi tentang Alegori Gua biasanya berakhir dengan teori pengetahuan yang terasa kaku. Kini, ketika membacanya lagi dengan kopi di tangan, aku melihat gua itu sebagai metafora budaya: bayangan-bayangan itu adalah cerita yang kita warisi, mitos yang kita ulangi. Plato mengajarkan cara mempertanyakan realitas, bukan hanya menerima narasi dominan. Itu pelajaran yang tetap relevan ketika kita menelaah sejarah kolonial atau wacana politik modern—bahwa ada sesuatu di balik tampilan, dan tugas nalar adalah menyingkapnya.

Pramoedya dan narasi yang membebaskan

Berpindah ke abad ke-20, Pramoedya Ananta Toer menulis dari pengalaman yang penuh luka: pembuangan, penjara, dan pengawasan. Tulisan-tulisannya adalah ginjal bagi memori kolektif Indonesia—keras, empatik, dan tak ingin dilupakan. Dalam tetralogi Buru, misalnya, aku merasa Pram tidak hanya menceritakan tokoh-tokohnya; ia memaksa pembaca menempatkan diri dalam sejarah yang selama ini disamarkan. Ada bentuk nalar yang lahir dari penderitaan dan perlawanan, dan itu berbeda cara kerjanya dibandingkan bentuk nalar yang dikembangkan para filsuf Yunani. Yah, begitulah—kita butuh kedua cara itu: teori yang abstrak dan cerita yang konkret.

Sastra sebagai jendela budaya: baca, dengar, rasakan

Sastra klasik maupun modern berfungsi sebagai arsip emosi dan gagasan. Dari tragedi Yunani sampai prosa Pramoedya, kita belajar tentang nilai-nilai yang dipegang masyarakat, tentang konflik antara individu dan struktur, tentang cara bahasa membentuk kenyataan. Aku punya kebiasaan aneh: ketika bingung tentang sebuah isu sosial, aku memilih mengambil novel dulu. Narasi sering mengajarkan nuansa bukan hanya argumen biner. Di toko buku daring atau di sudut perpustakaan, selalu ada karya yang membuka perspektif baru; salah satunya bisa ditemukan waktu aku iseng mengeklik link ke thehumanitiesbookstore untuk melihat koleksi yang merentang dari filsafat kuno sampai karya-karya kontemporer.

Lukisan kontemporer: warna yang memaksa kita berpikir ulang

Di galeri, aku sering berdiri lama di depan satu karya sampai kelelahan. Lukisan kontemporer punya bahasa lain: tekstur, warna, ruang, dan diam yang sumir. Kadang karya tersebut mengutak-atik konsep kebenaran—apakah sebuah citra harus merepresentasikan sesuatu atau cukup memancing pengalaman? Banyak pelukis masa kini mengambil inspirasi dari sejarah dan literatur, memotong dan menempel fragmen menjadi sesuatu yang memancing nalar dalam cara non-verbal. Seni visual bisa menantang asumsi filosofis tentang realitas dengan cara yang berbeda dari kata-kata: ia memperlihatkan paradoks, bukan menjelaskannya.

Saat aku menautkan semuanya, ada satu hal yang selalu kembali: budaya adalah dialog panjang. Karya klasik memberi kerangka; penulis modern memberi testimonium; seniman kontemporer memberi ruang eksperimental. Kita, sebagai pembaca dan penonton, berdiri di tengah dan memutuskan apakah akan mengulang bayangan itu atau mencoba keluar dari gua.

Aku percaya bahwa mempelajari rentang ini bukan soal mengoleksi nama atau membanggakan pengetahuan. Ini tentang mengembangkan kebiasaan berpikir yang luwes—mampu bergeser dari teori abstrak ke pengalaman konkret, dari analisis dingin ke simpati yang dalam. Dan jujur saja, ada kenikmatan sederhana ketika menemukan koneksi tak terduga antara dialog Socrates dengan monolog seorang tokoh Pramoedya atau sapuan kuas di kanvas yang mengingatkan pada baris puisi lama.

Jadi, kalau suatu hari kau sedang ingin ‘mengajari’ nalarmu sebuah petualangan, ambil satu teks kuno, satu novel modern, dan kunjungi sebuah pameran. Biarkan mereka saling berbicara. Yah, begitulah cara aku terus belajar—perlahan, sering kagok, tapi selalu terpesona.

Kunjungi thehumanitiesbookstore untuk info lengkap.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *